Sabtu, 24 Desember 2011

Tugas MK : MEDIA PEMBELAJARAN TP Semester II

PERANCANGAN MEDIA POWER POINT PEMBELAJARAN SISTEM PERSAMAAN LINIER DUA VARIABEL (SPLDV)
Oleh : Rina Oktopiani
Dalam Perancangan Media menurut Smaldino menerapkan prinsip ASSURE, yaitu :
A = Analize Learners (Menganalisis karakteristik siswa)
S = State Objective (Menetapkan tujuan)
S = Select Methode, Media and Materials (Memilih metode, media dan bahan)
U = Utilize media and materials (Penggunaan media dan bahan)
R = Require learner participation (menyiapkan partisipasi pebelajar)
E = Evaluate and revise (Evaluasi proses dan hasil belajar serta melakukan revisi)
Berikut diberikan contoh penerapan prinsip ASSURE tersebut dalam perancangan media pembelajaran.
Sekolah                       : SMP Negeri 2 Reteh
Mata Pelajaran            : Matematika
Kelas / Semester          : VIII / I
Standar Kompetensi   : Memahami system persamaan linier dua variable dan menggunakannya dalam pemecahan masalah
A = ANALIZE LEARNERS (ANALISIS SISWA)
Salah satu pedoman pemilihan media pembelajaran yang efektif, harus ada kesesuaian antara karakteristik siswa dengan isi metode, media, dan bahan pembelajaran. Tahap pertama dalam model ASSURE adalah analisis siswa.
Hal ini tidak mudah untuk menganalisis ciri-ciri setiap siswa. Beberapa faktor dan kriteria untuk membuat dan memutuskan media yang baik antara lain:
a)   Karakteristik umum
Siswa yang akan mengikuti pembelajaran ini adalah siswa SMP kelas VIII yang rata-rata berusia antara 13 – 15 tahun. Mempunyai kultur budaya yang tidak jauh berbeda. Berasal dari masyarakat ekonomi menengah ke bawah. Pekerjaan orang tua petani dan buruh.
Siswa tidak bersemangat pada subjek materi, salah satu pertimbangan untuk menggunakan stimulus tinggi pembelajaran, misalnya media presentation.
b)       Kompetensi khusus awal
Ketika memulai perencanaan pembelajaran, anggapan pertama bahwa siswa belum menguasai pengetahuan atau keahlian yang diperlukan adalah salah. Realisasi pendapat ini bahwa pengajar harus mempunyai asumsi bermacam-macam tentang kompetensi awal melalui arti informal (misalnya pertanyaan dalam kelas atau interview luar kelas) atau arti lebih formal (misalnya tes dengan standart atau tes dari guru). Tes awal merupakan assesment, keduanya formal dan informal, yang menentukan apakah siswa mempunyai keahlian penting yang harus dimiliki.
Dalam hal ini, siswa diberikan tes awal yang berisikan materi-materi prasyarat dalam mempelajari persamaan linier dua variabel. Materi terdiri dari aljabar dan persamaan linier satu variabel. Dari tes yang diberikan 75 % siswa mempunyai bekal yang cukup untuk mengikuti materi selanjutnya. 25 % siswa lagi perlu bimbingan khusus untuk mampu mengikuti materi Sistem Persamaan Linier Dua Variabel.
c)        Gaya belajar
Gaya belajar berpengaruh pada ciri-ciri psikologi yang berpengaruh pada respon siswa terhadap beberapa stimulus, misalnya: keinginan, bakat, kecenderungan pada visual atau audiotori, dan sebagainya. Variabel gaya belajar didiskusikan dalam literatur dapat dikategorisasikan seperti preferensi pemahaman dan kemampuan, kebiasaan memproses informasi, faktor motivasi, dan faktor psikologi.
Siswa di kelas ini mempunyai kecendrungan kemampuan logika/matematika rendah, kemampuan verbal/linguistik (bahasa) lebih berkembang, kemampuan visual/spasial juga berkembang. Siswa lebih suka belajar dengan melihat dan mendengarkan. Masih lebih cepat mengikuti pembelajaran jika dijelaskan dengan detail oleh guru. Siswa juga mempunyai semangat jika diberikan kesempatan untuk menyelesaikan masalah berpasangan dengan teman sebayanya. Dilihat dari segi motivasi, siswa mempunyai motivasi yang kurang baik dari lingkungan keluarga dan masyarakat. Jadi perlu perhatian penuh guru dalam memotivasi siswa.
Dilihat dari gaya belajar yang dimiliki siswa kelas VIII SMP Negeri 2 Reteh ini, maka media yang bisa membangkitkan motivasi dan mengembangkan kemampuan yang dimiliki siswa adalah menggunakan media presentasi animasi.

S = STATE OBJECTIVE (MENETAPKAN TUJUAN)
Langkah kedua dalam model ASSURE dalam penggunaan media pembelajaran adalah menentukan tujuan pembelajaran. Hasil pembelajaran apa yang diharapkan tercapai pada masing-masing siswa? Lebih jelasnya, Kemampuan baru seperti apa yang harus siswa miliki saat selesai pembelajaran? Sebuah tujuan adalah bukan pernyataan dari apa yang guru rencanakan untuk memulai pembelajaran tetapi apa yang seharusnya siswa peroleh dari pembelajaran.
Menentukan Tujuan dengan baik melalui ABCD
Secara baik-menentukan tujuan dimulai dengan sebutan Audience (siswa) yaitu siapa tujuan yang dimaksud. Kemudian secara khusus Behavior atau kemempuan yang ditunjukkan dan Condition yaitu tindakan atau kemampuan yang diamati. Terakhir, Degree menunjukkan keahlian baru yang harus diraih-standart kemampuan yang dapat dinilai.
Tujuan Dalam Pembelajaran ini dapat dibagi menjadi sebagai berikut:
Kognitif : -    Siswa mampu menentukan penyelesaian dari sistem persamaan linier dua variabel
-          Siswa mampu membuat model matematika dari masalah yang berkaitan dengan sistem persamaan linier dua variabel (SPLDV)
Afektif : - Siswa mampu menyelesaikan permasalahan sehari-hari yang berhubungan dengan  SPLDV
Psikomotor : - Siswa mampu menggambarkan grafik dari penyelesaian SPLDV
Intrapersonal : - Siswa mampu berdiskusi dengan teman sebaya untuk membuat model matematika dari permasalahan yang berhubungan dengan SPLDV
-          Siswa mampu mengahargai pendapat teman sebaya

S = SELECT METHODE, MEDIA AND MATERIALS (MEMILIH METODE, MEDIA DAN BAHAN)
Sebuah rencara yang sistematic untuk penggunaan media tentunya memerlukan metode, media, dan bahan yang dipilih secara sistematik dalam bagian pertama. Proses pemilihan memiliki tiga langkah: (1) menentukan metode yang sesuai untuk memberikan tugas pembelajaran, (2) memilih format media yang sesuai untuk membawa hasil dari metode, (3) memilih, memodifikasi, atau merancang bahan khusus dalam format media.
Metode : Metode dalam Pembelajaran ini adalah Metode Pembelajaran Langsung
Media & Bahan : Sesuai dengan karakteristik siswa dan kemampuan siswa yang telah dipaparkan sebelumnya, maka media yang digunakan pada pembelajaran ini adalah Media Power Point. Media Power point digunakan untuk menarik perhatian siswa dengan berbantukan komputer  dan LCD Proyektor yang telah tersedia di sekolah. Selain itu, guru juga menggunakan kertas karton yang berfungsi sebagai lembar kerja siswa, dimana siswa akan memaparkan hasil kerjanya di depan kelas. Tugas yang diberikan kepada siswa dikerjakan secara berpasangan dengan teman sebayanya, hasil dituliskan dengan menggunakan Spidol dan ditempelkan pada White Board.

U = UTILIZE MEDIA AND MATERIALS (PENGGUNAAN MEDIA DAN BAHAN)
Langkah berikutnya adalah penggunaan media dan bahan ajar oleh siswa dan guru. Melimpahnya ketersediaan media dan bergesernya filsafat dari belajar yang berpusat pada guru ke siswa meningkatkan kemungkinan siswa akan menggunakan bahan ajarnya sendiri. Dalam pengajaran yang berpusat pada guru maupun siswa, perlu dipakai pedoman 5P berikut:
a.       Meninjau Ulang Bahan Ajar
Guru memeriksa terlebih dahulu bahan ajar yang telah dipersiapkannya dan meninjau kembali apakah sudah sesuai dengan tujuan dan kondisi siswa
b.      Menyiapkan Bahan Ajar
Sangat penting pula untuk menyiapkan media dan bahan ajar untuk mendukung aktifitas pembelajaran yang direncanakan. Dalam menyiapkan bahan ajar, langkah pertama adalah mengumpulkan semua materi dan peralatan yang akan diperlukan, kemudian menentukan urutan penggunaan bahan ajar dan medianya. Dalam hal ini, guru mempersiapkan computer/laptop, LCD Proyektor, white board, meninjau sambungan listrik, mempersiapkan kertas karton, spidol, double tip dan hal lainnya yang mendukung proses pembelajaran. Dalam pembelajaran menggunakan media power point, Smaldino, dkk memberikan urutan perancangan materi visual melalui power point, sebagai berikut:
Perancangan:
1.      Memilih jenis huruf, ukuran dan warna yang sesuai dan mudah dibaca
2.      Menggunakan latar belakang yang berwarna terang dengan huruf yang berwarna gelap
3.      Judul diletakkan pada bagian tengah atas slide
4.      Gunakan komunikasi yang singkat, gunakan kata pada slide seminimum mungkin. Jika perlu kata yang lebih banyak lagi gunkan slide berikutnya.
5.      Gunakan sebuah tamplate untuk membuat sebuah format visual yang konsisten
6.      Kurangi fitur-fitur yang mengganggu konsentrasi siswa, seperti lonceng dan peluit yang berlebihan
7.      Gunakan gambar yang sesuai
8.      Gunakan transisi atau proses bergantinya slide ke slide berikutnya dengan konsisten, dan hindari suara berisik dengan transisi
9.      Gunakan bangunan yang sederhana. Efek bangunan merupakan bagaimana teks atau gambar diperkenalkan dalam satu slide
10.  Jangan terlalu berlebihan dalam menggunakan efek animasi
11.  Gunakan suaranya hanya jika bias meningkatkan presentasi anda
12.  Dapat juga menggunakan catatan kaki untuk mengidentifikasi slide 
      Tahap Pelaksanaan
  1. Membuka aplikasi Microsoft power point 
  2. Memilih tamplate atau background
  3. Mengamati gambar dengan seksama serta mengidentifikasi proses atau bagian dari gambar yang perlu diketahui oleh siswa
  4. Mulai menuliskan materi, namun harus diingat bahwa slide yang dibuat harus runtut
  5. Memilih warna background dan warna tulisan yang tepat, sehingga dalam penyampaian slide yang ditampilkan terlihat jelas
  6.  Menggunakan efek animasi yang serasi dan indah, sehingga pembelajaran menjadi menarik
  7.  Mengecek ulang apakah ada kesalahan letak atau pemberian efek anmasi yang tidak sesuai
Tahap Akhir
Setelah pembuatan slide presentasi selesai, hasil dapat dilihat dengan menggunakan slide show yang merupakan hasil keseluruhan presentasi. Dalam pembelajaran di kelas akan diproyeksikan dengan menggunakan LCD proyektor.
c.       Menyiapkan Lingkungan Belajar
Dimanapun kegiatan pembeajaran baik di kelas, lab, pusat media, lapangan atletik, dll sangat perlu dipersiapkan dan diatur kesesuaiannya dengan penggunaan bahan ajar dan medianya. Beberapa faktor sering dianggap remeh adalah keadaan tempat duduk, ventilasi, suhu, pencahayaan, dan sumber listrik. Beberapa media mungkin perlu keadaan ruang yang gelap, maka harus disesuaikan, dll.
d.      Menyiapkan Siswa
Penelitian pada belajar sangat jelas menunjukkan bahwa keberhasilan belajar sangat bergantung pada kesiapan siswa untuk belajar. Berikut cara-cara untuk menyiapkan siswa:
1)      Penyampaian tentang apa yang akan dipelajari.
2)      Cerita rasional yang berhubungan dengan SPLDV yang akan dipelajari.
3)      Pernyataan yang memotivasi tentang perlunya mempelajari SPLDV
4)      Arahan-arahan yang mengarahkan perhatian.
e.       Menyediakan Pengalaman Belajar
Sekarang setelah semua hampir siap, maka yang harus diperhatikan adalah menyediakan pengalaman pembelajaran bagi siswa. Dalam pembelajaran kali ini, guru menyajikan informasi atau menyampaikan materi secara professional. Guru harus mampu mengarahkan perhatian siswa terhadap materi pembelajaran. Saat siswa mengerjakan latihan atau tugas, peran guru adalah sebagai pemandu atau fasilitator, yakni membantu siswa dalam menyelesaikan permasalahan dan fasilitator dalam diskusi kelas.

R = REQUIRE LEARNER PARTICIPATION (MENYIAPKAN PARTISIPASI PEBELAJAR)
Pendidik telah lama menyadari bahwa partisipasi aktif dalam proses belajar dapat meningkatkan belajar. Untuk itu, situasi belajar yang paling efektif mengharuskan agar siswa dapat mempraktikkan keterampilan yang mendorong ke arah pencapaian tujuan. Bentuk partisipasi tersebut dalam pembelajaran ini meliputi kegiatan memecahkan soal matematika yang berhubungan dengan SPLDV di lembar kerja. Selain itu, diskusi, kuis singkat dan latihan aplikasi bisa memberi peluang untuk praktik dan umpan balik selama pembelajaran berlangsung.

E = EVALUATE AND REVIEW (EVALUASI PROSES DAN HASIL BELAJAR SERTA MELAKUKAN REVISI)
a)      Evaluasi hasil Belajar siswa
Evaluasi dilakukan sebelum, selama dan sesudah pembelajaran. Sebelum pembelajaran dimulai, karakteristik siswa diukur guna memastikan apakah ada kesesuaian antara keterampilan yang dimiliki siswa dengan metode dan bahan ajar yang akan digunakan. Selama dalam proses pembelajaran, evaluasi dilakukan menggunakan umpan balik dan evaluasi dir.i Evaluasi yang dilakukan pada saat proses pembelajaran berlangsung memiliki tujuan diagnosa yang didesain untuk mendeteksi dan mengoreksi masalah pembelajaran dan kesulitan-kesulitan yang ada. Sedangkan sesudah pembelajaran, evaluasi dilakukan dengan memberikan tes kepada siswa terhadap materi SPLDV yang telah dipelajari sesuai dengan tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan.
b)      Evaluasi Metode dan Media
Selain mengukur prestasi siswa, evaluasi juga meliputi assesmen terhadap metode dan media. Pada langkah ini muncul pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:
1)      Apakah bahan ajar pembelajarannya efektif?
2)      Apakah dapat ditingkatkan?
3)      Apakah efektif ditinjau dari pencapaian belajar siswa?
4)      Apakah presentasi memakan waktu lebih dari semestinya?
Terutama setelah digunakan, bahan pembelajaran perlu dievaluasi untuk menentukan apakah bisa digunakan di masa mendatang atau perlu dimodifikasi terlebih dulu. Untuk mengevaluasi metode dan media pembelajaran bisa digunakan diskusi kelas, wawancara perorangan dan pengamatan perilaku siswa. Muncul lagi pertanyaan-pertanyaan:
1)      Apakah media membantu siswa dalam mencapai tujuan?
2)      Apakah media efektif menarik perhatian siswa?
3)      Apakah media memberi kesempatan siswa untuk berpartisipasi?
c)      Evaluasi Pengajar
Pengajar juga perlu dievaluasi, sama seperti komponen lain dalam sistem (siswa, metode, media). tidak perlu takut untuk dievaluasi, karena hal ini dapat meningkatkan kinerja kita sebagai pengajar. Ada empat tipe dasar dari evaluasi pengajar:
1)      Evaluasi diri
2)      Evaluasi oleh siswa
3)      Evaluasi oleh teman sejawat
4)      Evaluasi oleh administrator
Untuk evaluasi diri, pengajar dapat merekam presentasinya dengan tape audio atau video, kemudian menyaksikannya dengan pedoman format evaluasi. Siswa dapat sangat membantu dalam evaluasi dengan memberikan balikan. Cara pengajar mendesain dan bagaimana respon siswa tentang desain tersebut merupakan masukan yang beragam. Pengajar dapat juga bertanya pada koleganya, biasanya dengan mempersilahkan pengajar lain untuk berada di belakang kelas dan melakukan pengamatan ketika kita melakukan proses pembelajaran.
d)     Revisi
Langkah terakhir dalam siklus pembelajaran ini adalah melihat kembali dan mengamati hasil data evaluasi yang telah terkumpul. Akan muncul pertanyaan pertanyaan sebagai berikut:
1)      Apakah telah sesuai antara apa yang diinginkan dan apa yang benar-benar terjadi?
2)      Apakah siswa dapat mencapai satu atau dua tujuan pembelajaran?
3)      Bagaimana reaksi siswa terhadap metode dan media pembelajaran yang dipakai?
4)      Apakah pengajar merasa puas dengan nilai bahan ajar yang dipilih?
Pengajar harus melakukan refleksi terhadap proses pembelajaran yang telah dilakukan serta masing-masing komponennya. Jangan lupa dibuat catatan-catatan segera setelah menyelesaikan pembelajaran dan lakukan rujukan ke catatan-catatan tersebut sebelum mengimplementasikan pembelajaran itu lagi. Jika data evaluasi anda ternyata menunjukkan adanya kekurangan di bidang-bidang tertentu, maka sekarang tiba saatnya untuk kembali memperhatikan bagian yang kurang tepat tersebut

RPP silahkan klik di sini :  http://www.ziddu.com/download/17932813/RPP.docx.html
Media power point klik di sini :
http://www.ziddu.com/download/17932897/persamaan-linier-dua-variabel.ppt.html
http://www.ziddu.com/download/17932989/persamaan-linier-dua-variabel-2.ppt.html





Sabtu, 10 September 2011

proposal tesis


BAB I
                                                        PENDAHULUAN
                                                                       
A.    Latar Belakang Masalah
Matematika sebagai salah satu bidang ilmu dasar mempunyai peranan penting dalam dunia pendidikan, karena pelajaran matematika merupakan salah satu sarana dalam membentuk siswa berfikir secara ilmiah. Fungsi matematika di sekolah adalah sebagai salah satu unsur masukan instrumental yang memiliki objek dasar, berdasarkan kebenaran konsisten dalam proses belajar mengajar untuk mencapai tujuan pendidikan. Pentingnya penguasaan terhadap mata pelajaran matematika memberikan andil bagi pencapaian tujuan pendidikan secara umum melalui pembentukan manusia yang mampu berpikir logis, sistematis dan cermat serta berfikir objektif dan terbuka dalam menghadapi berbagai permasalahan.
Menyadari pentingnya pembelajaran matematika, maka perlu mendapat perhatian yang sungguh-sungguh untuk meningkatkan mutu pendidikan Matematika. Peningkatan mutu pendidikan matematika ditandai dengan peningkatan hasil belajar matematika yang ditentukan oleh proses dan hasil pembelajaran matematika. Keberhasilan pembelajaran matematika dipengaruhi oleh berbagai factor antara lain guru sebagai subjek yang berperan dalam usaha membelajarkan siswa dan siswa sebagai objek yang menjadi sasaran pembelajaran matematika.
Berbagai usaha dilakukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan, diantaranya dengan penyempurnaan kurikulum yang saat ini diterapkan, yaitu Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) sebagai penyempurnaan kurikulum sebelumnya yang cenderung content based. Tujuan pendidikan yaitu membekali siswa dengan pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai (sikap) yang ditransformasikan sampai menjadi kompetensi bagi siswa. Karena itu sekolah perlu menerapkan program yang menberikan kesempatan belajar kepada siswa agar ketiga ranah konten kurikulum itu menjadi kompetensi, bukan program yang sekedar mentransfer konten kurikulum atau materi ajar kepada siswa. Dari pihak sekolah usaha yang dilakukan guru untuk meningkatkan hasil belajar adalah mengulang kembali bagian-bagian materi yang belum dimengerti oleh siswa pada jam tambahan sore, memberikan soal-soal latihan dan belajar berkelompok. Namun usaha tersebut belum menampakkan hasil yang diharapkan.
Saat ini, pelajaran matematika bagi siswa pada umumnya dipandang sebagai pelajaran yang “sulit dan menyeramkan”. Karena susah dimengerti, dipenuhi dengan rumus-rumus, serta pendekatan atau metode pembelajaran yang menjadikan siswa tidak merasa nyaman selama kegiatan pembelajaran. Sehingga kepedulian mereka akan pentingnya matematika sebagai bagian dari kehidupan kurang mereka rasakan manfaatnya.
Mengingat pentingnya pembelajaran matematika bagi siswa, maka sudah seharusnya hasil belajar matematika siswa tinggi. Namun kenyataan di lapangan, ditemukan bahwa hasil belajar matematika siswa di SMP Negeri 2 Reteh masih rendah. Hal ini dapat dilihat dari tingkat ketercapaian nilai Kriteria Ketuntasan Minimum (KKM) yang ditetapkan sekolah yaitu 70.
Tabel 1. Hasil Belajar Matematika Siswa Materi Pokok Operasi Hitung Bilangan Pecahan
Kelas
KKM
Persentase Ketuntasan
Jumlah siswa
T.P 2009/2010
Jumlah siswa
T.P 2010/2011
T.P 2009/2010
T.P 2010/2011
VIIIA
22
23
60 %
63 %
VIIIB
23
24
56 %
60 %
VIIIC
21
25
58 %
61 %

Berdasarkan pengamatan sementara di lapangan, pembelajaran matematika yang dilaksanakan umumnya secara konvensional dan didominasi oleh metode ceramah, sekali-kali diselingi dengan Tanya jawab. Siswa tidak terbiasa menemukan sendiri konsep yang dipelajari, sehingga pembelajaran jadi kurang bermakna. Akhirnya siswa menjadi pasif selama proses pembelajaran, sebagian besar siswa beranggapan belajar matematika tidak lebih dari sekedar mengingat dan menghafal fakta-fakta atau prosedur. Selain itu guru tidak pernah memperhatikan pengetahuan awal siswa sebelum memulai materi baru. Sehingga guru tidak mengetahui dari mana seharusnya pembelajaran itu dimulai.
Contohnya dalam materi bangun ruang, siswa hanya menghafal rumus tetapi tidak memahami konsep yang dipelajari. Hal itu dapat dilihat saat siswa diberi soal-soal yang berkaitan dengan aplikasi perhitungan bangun ruang, sebagian besar siswa tidak mampu mengerjakan soal jika soal yang diberikan berbeda dengan contoh yang dipelajari.
B.     Identifikasi Masalah
Dari latar belakang masalah dapat di identifikasi permasalahan yang ada dalam pembelajaran matematika sebagai berikut :
1.      Pembelajaran masih didominasi oleh guru dan tidak melibatkan secara aktif siswa dalam belajar, guru lebih banyak menerangkan pelajaran dan tidak menuntut siswa untuk terlibat secara penuh dalam belajar.
2.      Hasil belajar siswa rendah, hal ini terlihat dari persentase ketuntasan siswa dalam mencapai KKM yang masih jauh dari harapan.
3.      Pembelajaran menggunakan metode konvensional dan kurang dapat memfasilitasi pembelajaran sampai siswa menguasai materi pembelajaran secara tuntas.
4.      Siswa tidak terlibat secara langsung dalam menemukan konsep, sehingga siswa mudah lupa tentang konsep yang dipelajarinya.
5.      Guru tidak meninjau kemampuan awal siswa sebelum melaksanakan pembelajaran, sehingga materi yang diajarkan tidak semua siswa menguasainya.
C.    Pembatasan Masalah
Dari berbagai masalah yang dipaparkan tersebut, maka peneliti membatasi masalah pada metode pembelajaran yang digunakan guru dalam upaya meningkatkan hasil belajar matematika siswa. Karakteristik pelajaran matematika yang abstrak, mengharuskan guru dalam penyampaian materi di sekolah mampu menjembataninya dengan menerapkan metode pembelajaran sesuai dengan tingkat kemampuan siswa dan materi yang akan dipelajari. Salah satu metode yang di anggap sesuai dengan matematika adalah metode penemuan terbimbing. Menemukan dengan membimbing secara kontinu masih lebih baik dari pada mengajar dengan sekedar memberitahukan sehingga dapat meningkatkan hasil belajar siswa.
Metode penemuan terbimbing merupakan suatu metode pembelajaran yang berpusat pada siswa, dimana siswa belajar dalam mencari dan menemukan pengetahuan mereka sendiri, sedangkan guru berperan sebagai pembimbing, pemberi petunjuk, dan fasilitator dalam membantu siswa untuk menemukan pengetahuan yang baru berdasarkan pengetahuan lama yang dimiliki oleh siswa. Dalam metode ini siswa didorong untuk berfikir sehingga dapat menemukan prinsip umum berdasarkan bahan atau data yang telah disediakan guru. Sampai sejauh mana siswa dibimbing tergantung pada kemampuan dan pada materi yang sedang dipelajari. Dengan metode ini, siswa dihadapkan kepada situasi dimana ia bebas menyelidiki dan menarik kesimpulan, guru menganjurkan siswa membuat terkaan, intuisi, dan mencoba-coba. Guru bertindak sebagai penunjuk jalan untuk membantu siswa menemukan ide, konsep, dan keterampilan yang sudah mereka pelajari sebelumnya.
Ditinjau dari segi siswa, pengetahuan awal siswa sebelum memulai pembelajaran sangat mempengaruhi hasil belajar siswa. Dengan mengetahui pengetahuan awal, guru dapat menetapkan dari mana harus dimulai pembelajaran. Pengetahuan awal yang dimaksudkan adalah tingkat pengetahuan atau keterampilan yang telah dimiliki, yang lebih rendah dari apa yang dipelajari. Tingkat pengetahuan ini lebih dikenal dengan entry behavior. Oleh karena itu, dalam penelitian ini peneliti ingin melihat bagaimana pengaruh metode penemuan terbimbing dan pengetahuan awal terhadap hasil belajar matematika siswa.
D.    Rumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah :
1.      Apakah terdapat perbedaan yang signifikan antara hasil belajar matematika siswa yang diajar dengan metode penemuan terbimbing dengan kelompok siswa yang diajar dengan metode konvensional ?
2.      Apakah terdapat perbedaan yang signifikan antara hasil belajar matematika siswa yang memiliki pengetahuan awal tinggi yang diajar metode penemuan terbimbing dengan kelompok siswa yang memiliki pengetahuan awal tinggi yang diajar dengan metode konvensional ?
3.      Apakah terdapat perbedaan yang signifikan antara hasil belajar matematika kelompok siswa yang memiliki pengetahuan awal rendah yang diajar metode penemuan terbimbing  dengan kelompok siswa yang memiliki pengetahuan awal rendah yang diajar dengan metode konvensional ?
4.       Apakah terdapat interaksi antara metode penemuan terbimbing dengan pengetahuan awal siswa dalam mempengaruhi hasil belajar matematika siswa ?
E.     TUJUAN PENELITIAN
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk melihat:
1.      Perbedaan yang signifikan antara hasil belajar matematika siswa yang diajar dengan metode penemuan terbimbing dengan kelompok siswa yang diajar dengan metode konvensional.
2.      Perbedaan yang signifikan antara hasil belajar matematika siswa yang memiliki pengetahuan awal tinggi yang diajar metode penemuan terbimbing  dengan kelompok siswa yang memiliki pengetahuan awal tinggi yang diajar dengan metode konvensional.
3.       Perbedaan yang signifikan antara hasil belajar matematika kelompok siswa yang memiliki pengetahuan awal rendah yang diajar metode penemuan terbimbing  dengan kelompok siswa yang memiliki pengetahuan awal rendah yang diajar dengan metode konvensional.
4.      Interaksi antara metode penemuan terbimbing dengan pengetahuan awal siswa.
F.     Manfaat Penelitian
Secara teoretis, temuan penelitian ini dapat digunakan untuk mengetahui perbedaan hasil belajar Matematika siswa kelas VIII yang disebabkan oleh penggunaan metode penemuan terbimbing. Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat bagi pendidikan antara lain:
1.      Pengembangan Ilmu Teknologi Pendidikan khususnya dalam kawasan desain pembelajaran
2.      Para praktisi dan akademis serta LPMP dalam mengembangkan metode pembelajaran dalam rangka peningkatan mutu pendidikan
3.      Membantu guru mengembangkan wawasan dan kemampuan mengajar mata pelajaran matematika di SMP melalui metode penemuan terbimbing
4.      Memberi masukan kepada guru untuk menerapkan berbagai metode pembelajaran yang bervariasi yang berpusat kepada siswa salah satunya metode penemuan terbimbing dalam pembelajaran mata pelajaran lainnya.


BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A.    Landasan Teori
1.      Hasil Belajar
Kegiatan belajar merupakan kegiatan yang paling penting dalam proses pendidikan di sekolah, ini berarti bahwa berhasil tidaknya pencapaian tujuan pendidikan banyak tergantung pada bagaimana proses belajar yang dialami murid sebagai anak didik, maka kegiatan belajar itu cenderung diketahui sebagai suatu proses psikologi, terjadi didalam diri seseorang. Oleh karena itu sulit diketahui dengan pasti bagaimana terjadinya. Karena prosesnya begitu kompleks, maka timbul beberapa teori tentang belajar. Dalam hal ini Sardiman, (2003: 30) antara lain : teori ilmu jiwa daya, ilmu jiwa gestalt, ilmu jiwa asosiasi dan kontruktivisme.
Teori belajar menurut ilmu jiwa daya: jiwa manusia itu terdiri bermacam-macam daya, dan masing-masing daya dapat dilatih untuk memenuhi fungsinya. Untuk melatih suatu daya dapat dipergunakan berbagai cara . Sebagai contoh untuk melatih daya ingat dalam belajar misalnya dengan menghafal, sehingga ada yang berpendapat bahwa belajar merupakan suatu kegiatan menghafal beberapa fakta-fakta. Guru yang berpendapat demikian akan merasa puas apabila muridnya telah sanggup menghafal sejumlah fakta di luar kepala. Demikian juga untuk daya-daya yang lain. Dalam hal ini, yang penting bukan penguasaan bahan atau materinya, melainkan hasil dari pembentukan dari daya-daya itu.
Teori belajar menurut ilmu jiwa gestalt menyatakan bahwa kegiatan belajar bermula pada suatu pengamatan. Pengamatan itu penting dilakukan secara menyeluruh. Tokoh yang merumuskan penerapan dari kegiatan pengamatan ke kegiatan belajar adalah Koffka. Terkait dengan belajar, Koffka berpendapat bahwa hukum-hukum organisasi dalam pengamatan itu dapat diterapkan dalam kegiatan belajar. Dalam kegiatan pengamatan keterlibatan semua panca indera sangat diperlukan dan mudah atau sukarnya suatu pemecahan masalah tergantung pada pengamatan. Menurut aliran teori belajar ini, seorang belajar jika mendapatkan insight. Insight ini diperoleh apabila seseorang melihat hubungan tertentu antara berbagai unsur dalam situasi tertentu. Adapun timbulnya insight itu tergantung: kesanggupan, pengalaman, latihan dan trial and error (Sardiman, 2003: 31). Sehingga ada juga yang berpendapat bahwa belajar adalah latihan, dan hasil belajar akan nampak dalam keterampilan-keterampilan tertentu, misalnya agar siswa mahir dalam berhitung harus dilatih mengerjakan soal-soal berhitung.
Teori belajar yang lain yakni teori belajar menurut ilmu jiwa asosiasi . Ada dua teori yang sangat terkenal yaitu teori Konektionisme dari Thorndike dan teori Conditioning dari Pavlov. Menurut Thorndike dasar dari belajar itu adalah asosiasi antara kesan panca indera (sense impression) dengan impuls untuk bertindak (impuls to action), dengan kata lain belajar adalah pembentukan hubungan antara stimulus dan respon, antara aksi dan reaksi. Mengenai hubungan stimulus dan respons tersebut, Thorndike mengemukakan beberapa prinsip diantaranya bahwa hubungan stimulus dan respon akan bertambah erat apabila disertai perasaan senang atau puas dan sebaliknya (law of effect). Oleh karena itu adanya usaha membesarkan hati dan memuji sangat diperlukan, hubungan stimulus dan respon akan bertambah erat apabila sering dipakai dan akan berkurang bahkan lenyap jika tidak pernah digunakan (law of exercise atau law of use and disuse) oleh karena itu perlu banyak latihan, dan kadang respon yang tepat tidak segera nampak sehingga harus berulang kali mengadakan percobaan-percobaan sampai respon itu muncul dengan tepat (law of multiple respone) sehingga dalam belajar sering disebutnya trial and error.
Teori belajar menurut teori konstruktivisme, yang merupakan salah satu filsafat pengetahuan, menekankan bahwa pengetahuan kita itu adalah konstruksi (bentukan) kita sendiri. Menurut pandangan teori kontrukstivisme, belajar merupakan proses aktif dari subyek belajar untuk merekonstruksi makna sesuatu, entah itu teks, kegiatan dialog, pengalaman fisik dan lain-lain, sehingga belajar merupakan proses mengasimilasikan dan menghubungkan pengalaman atau bahan yang dipelajarinya dengan pengertian yang sudah dimiliki, dengan demikian pengertiannya menjadi berkembang. Sehubungan dengan itu ada beberapa ciri atau prinsip dalam belajar (Paul Suparno, 1997), yaitu :
1.      Belajar berarti mencari makna. Makna diciptakan oleh siswa dari apa yang mereka lihat, dengar, rasakan dan alami.
2.      Kontruksi makna adalah proses yang terus menerus.
3.      Belajar bukanlah kegiatan mengumpulkan fakta, tetapi merupakan pengembangan pemikiran dengan membuat pengertian yang baru.
4.      Hasil belajar dipengaruhi oleh pengalaman subyek belajar dengan dunia fisik dan lingkungannya.
5.      Hasil belajar tergantung pada apa yang telah diketahui si subyek belajar, tujuan, motivasi mempengaruhi proses interaksi dengan bahan yang sedang dipelajari.
Jadi menurut teori konstruktivisme, belajar adalah kegiatan yang aktif di mana siswa membangun sendiri pengetahuannya dan mencari sendiri makna dari sesuatu yang mereka pelajari.
Bloom (2001) mengelompokkan hasil belajar dari dua dimensi yaitu cognitive proses yang meliputi pengetahuan (knowledge), pemahaman (comprehention), aplikasi, analisis, sintesis dan evaluasi. Dimensi knowledge yang terdiri dari fakta, konsep, prosedur dan prinsip.
Snelbecker (1974) mengemukakan cirri-ciri tingkah laku yang diperoleh dari belajar adalah (1) terbentukny atingkah laku baru akibat potensial, (2) kemampuan itu berlaku dalam waktu yang relative lama dan (3) kemampuan itu diperoleh dengan menggunakan usaha. Pengetahuan yang diperoleh dapat dikelompokkan pada empat bagian yaitu fakta, konsep, prosedur dan prinsip. Fakta adalah hubungan antara waktu dan kejadian, atau berkaitan dengan satu nama dan bagiannya. Konsep merupakan seperangkat objek, peristiwa atau beberapa symbol dengan karakteristik yang sama. Prosedur adalah rangkaian kegiatan dalam mencapai suatu tujuan. Sedangkan prinsip adalah hubungan sebagai akibat yang saling berkaitan dengan sutau proses.
Romiszowaki (1981) mengungkapkan hasil elajar diperoleh dalam bentuk pengetahuan dan keterampilan. Pengetahuan dikelompokkan kepada empat kategori, yaitu fakta, konsep, prosedur dan prinsip. Fakta merupakan pengetahuan tentang objek nyata. Fakta juga merupakan asosiasi dari kenyataan-kenyataan dan informasi verbal dari suatu objek, peristiwa, atau manusia. Konsep merupakan pengetahuan tentang tindakan demi tindakan yang bersifat linear dalam mencapai suatu tujuan. Sedangkan rinsip adalah merupakan kenyataan mengenai hubungan dua konsep atau lebih.
Hasil belajar yang diharapkan pada pembelajaran adalah pemahaman konsep dan penguasaan keterampilan proses. Pemahaman konsep dan penguasaan keterampilan proses dipengaruhi oleh cara penyajian pembelajaran dari guru serta perbedaan kemampuan menyerap pelajaran oleh siswa.
Berdasarkan beberapa pendapat para ali di atas dapat peneliti simpulkan bahwa hasil belajar secara umum dipandang sebagai perwujudan perubahan tingkah laku dalam domain kognitif, afektif, dan psikomotor yang diperoleh siswa setelah melalui proses pembelajaran. Sedangkan hasil belajar dalam penelitian ini adalah nilai atau skor yang diperoleh siswa setelah terjadi proses pembelajaran matematika (kognitif). Skor tersebut diperoleh melalui serangkaian tes penguasaan terhadap kompetensi-kompetensi yang telah dipelajari siswa.
2.      Pembelajaran Matematika di Sekolah Menengah Pertama
Perencanaan dan pengembangan kurikulum merupakan suatu pekerjaan yang memerlukan tekad mendalam dari komprehensif untuk memenuhi syarat kelayakan. Dinamika perkembangan bangsa Indonesia dewasa ini, menuntut bahwa pengembangan kurikulum perlu memperhatikan isu-isu mutakhir dalam bidang pendidikan, persoalan-persoalan yang muncul di lapangan, variasi sekolah, tenaga kependidikan, minat dan kemampuan siswa. Serta tuntutan perkembangan masyarakat, ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dalam pendidikan formal kurikulum merupakan salah satu aspek yang penting dalam pengajaran, karena pengajaran berpangkal padanya. Antara pengajaran dan kurikulum terdapat hubungan yang cukup erat sehingga tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Dalam kurikulum terangkum pula pengajaran yang menentukan kemana dan bagaimana seorang anak didik diarahkan dalam perkembangan segenap potensinya. Kurikulum selalu menyangkut persoalan mengenai apa yang hendak diajarkan dan mengapa hal itu di ajarkan, karena itu kurikulum tidak terlepas dari pengajaran.
Kurikulum dalam arti sempit adalah: “Sejumlah mata pelajaran di sekolah atau mata kuliah di perguruan tinggi yang harus ditempuh untuk mencapai suatu ijazah atau tingkat”. Sedangkan menurut Oemar Hamalik, “Kurikulum adalah sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh oleh murid untuk memperoleh ijazah”.
Dengan demikian kurikulum erat kaitannya dengan sistem pengajaran yang ada pada suatu lembaga pendidikan, baik itu lembaga pendidikan formal maupun lembaga pendidikan informal. Namun pada hakikatnya pengertian kurikulum banyak mengalami perkembangan serta pemikiran dari tokoh-tokoh pendidikan sehingga dapat meliputi hal-hal yang tidak direncanakan namun turut mengubah kelakuan anak didik. Kurikulum juga bukan lagi sekedar sejumlah mata pelajaran akan tetapi mendapat liputan yang luas.
Kurikulum matematika yang disusun harus ditangani oleh guru-guru yang memiliki kompetensi, karena pelaksanaan kurikulum sangat tergantung pada kemampuan dan keterampilan seorang guru. Segala usaha dikerahkan guru agar siswa berhasil menguasai pengetahuan dan keterampilan metematika untuk dapat memecahkan masalah-masalah matematika itu sendiri maupun yang berhubungan dengan ilmu yang lain.
Matematika sebagai salah satu bidang studi yang diajarkan di SMP dan MTs mempunyai tujuan pengajaran tersendiri yang disebut tujuan kurikuler matematika. Untuk menjelaskan  tujuan pengajaran matematika di SMP dan MTs, maka alangkah lebih baik jika terlebih dahulu kita harus memahami tujuan mempelajari matematika seperti dikemukakan oleh Muttaqin Hasyim (2009), yaitu sebagai berikut:
1.      Matematika dapat digunakan untuk mengetahui gejala-gejala alam.
2.      Dengan penggunaan metode matematika dapat diperhitungkan segala sesuatu dalam pengambilan keputusan.
3.      Matematika penting sebagai sains untuk perkembangan budaya bangsa.
4.      Matematika dapat digunakan dalam lapangan kerja.
5.      Matematika dapat menyampaikan ide-ide secara benar, tepat dan jelas kepada orang lain
Adapun tujuan umum pengajaran matematika di SMP dan MTs adalah seperti tercantum dalam kurikulum Madrasah Tsanawiyah tahun 2006 adalah sebagai berikut:
1.      Melatih cara berfikir dan bernalar dalam menarik kesimpulan, misalnya melalui kegiatan penyelidikan, eksplorasi, eksperimen, menunjukkan kesamaan, perbedaan, konsisten dan inkonsisten.
2.      Mengembangkan aktifitas kreatif yang melibatkan imajinasi, intuisi, dan penemuan dengan mengembangkan pemikiran divergen, orisinil, rasa ingin tahu, membuat prediksi dan dugaan, serta mencoba – coba.
3.      Mengembangkan kemampuan memecahkan masalah
4.      Mengembangkan kemampuan meyampaikan informasi atau meng-komunikasikan gagasan antara lain melalui pembicaraan lisan, catatan, grafik, peta, diagram, dalam menjelaskan gagasan.
Sementara itu tujuan khusus pengajaran matematika di SMP dan MTs adalah agar siswa memiliki kemampuan yang dapat digunakan melalui kegiatan matematika sebagai bekal untuk melanjutkan kependidikan menengah serta mempunyai keterampilan matematika sebagai peningkatan dan perluasan dari matematika sekolah dasar untuk dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari dan mempunyai pandangan yang dan memiliki sikap logis, kritis, cermat, kreatif dan disiplin serta menghargai kegiatan matematika
Di samping kurikulum keberhasilan proses belajar mengajar tidak terlepas dari persiapan peserta didik dan persiapan tenaga pengajar dibidangnya, dan keberhasilan tersebut terjadi apabila ada sesuatu yang mendorong pribadi yang bersangkutan. Keberhasilan belajar seorang anak tergantung pada sejauh mana ia mampu mencapai tujuan belajarnya. Tujuan belajar yang dicapai akan berhasil apabila pengajaran dan proses belajar mengajar berlangsung dengan baik. Jadi pengajaran sangat mempengaruhi keberhasilan belajar seorang anak.
Pengajaran sebagai salah satu desain untuk mencapai tujuan pendidikan yang selalu berubah, oleh karena itu perlu bimbingan yang terus menerus baik mengenai dasar, kerangka, maupun hal-hal praktis yang menunjang suatu pengajaran. Dengan kata lain supaya tujuan pengajaran matematika itu tercapai, maka semua komponen-komponen yang ada didalamnya harus diorganisir sedemikian rupa sehingga antara komponen-komponen tersebut dapat bekerja sama dengan harmonis. Oleh karena itu mengembangkan suatu sistem pembelajaran, guru tidak boleh hanya memperhatikan bahwa sesungguhnya pengajaran itu adalah sebagai suatu sistem.
3.      Pembelajaran Konvensional
Pembelajaran konvensional adalah pembelajaran yang biasa dan sering kita lakukan, seperti ceramah maupun ekspositori. Bahkan Russefendi (1991) menyatakan bahwa “pengajaran tradisional ialah pengajaran pada umumnya yang biasa kita lakukan sehari-hari. Arti lain dari pengajran tradisional disini adalah pembelajaran klasikal. Dalam pembelajaran ini guru sangatlah dominan, guru sebagi pusat dari berlangsungnya pembelajaran.
Metode ekspositori adalah cara penyampaian pelajaran dengan adanya masukan-masukan dari guru, siswa atau lingkukngan sekalipun berdasarkan pengalaman-pengalaman atau pembuktian. Pengajaran ekspositori tidak terlepas dari metode ceramah, karena sifatnya memberikan informasi, pengajaran berpusatkan pada guru walaupun tidak sebesar metode ceramah. Pada pengajaran ini guru hanya memberikan informasi pada saat-saat atau bagian-bagian yang diperlukan, misalnya pada permulaan pengajaran, pada pengajaran topic yang baru, pada waktu memberikan contoh-contoh soal dan sebagainya. Hal ini sesuai dengan pendapat Soedjana (1986) bahwa “pada metode ekspositori dominasi guru sangat berkurang, karena tidak terus berbicara saja, ia berbicara pada awal pelajaran, menerangkan materi dan contoh-contoh soal pada waktu-waktu yang diperlukan saja”.
Pada metode ini, setelah guru memberikan informasi, guru mulai menerangkan konsep, mendemonstrasikan keterampilannya mengenai dalil-dali tentang konsep itu, maka siswa dapat bertanya, guru memeriksa apakah siswa sudah memahami materi yang diajarkannya atau belum. Dengan memberikan beberapa contoh-contoh soal aplikasi konsep yang harus dikerjakan siswa, selanjutnya guru dapat meminta salah seorang siswa untuk menyelesaikan soal tersebut baik di bukunya maupun di papan tulis.
Proses pembelajaran siswa pada metode ini, mungkin ada yang bekerja secara individual tetapi tidak menutup kemungkinan siswa akan bekerja sama dengan teman-teman yang dekat dengan tempat duduknya, dan tentunya ada semacam Tanya jawab dalam proses tersebut, baik antara siswa dengan siswa maupun antara guru-siswa ataupun siswa-guru. Pada kegiatan terakhir siswa dapat mencatat materi yang telah diterangkan yang mungkin dilengkapi dengan soal-soal tugas dikerjakan di rumah, dan pada pertemuan selanjutnya guru dapat bertanya kepada siswa mengenai tugas rumah yang dikerjakannya sebelum memulai pelajaran yang baru. Pembelajaran konvensional dalam kaitan ini diartikan sebagai pembelajaran dalam konteks klasikal yang sudah terbiasa dilakukan.
Dengan pembelajaran menggunakan metode penemuan terbimbing, siswa akan tertarik untuk lebih memusatkan perhatiannya kepada pelajaran. Siswa dilibatkan langsung dalam penemuan terhadap konsep yang dipelajarinya. Hal ini akan mengakibatkan pembelajaran menjadi lebih bermakna. Siswa diharapkan tidak hanya menghapal rumus yang diberikan, tetapi mampu menggunakannya di dalam berbagai permasalahan yang berhubungan dengan konsep tersebut. Kemudian pada akhirnya akan mampu meningkatkan hasil belajar matematika siswa.
4.      Metode Penemuan Terbimbing
Sebelum membahas Model Penemuan Terbimbing, ada baiknya terlebih dahulu kita tinjau sejenak Model Penemuan Murni. Dalam Model Penemuan Murni, yang oleh Maier (1995: 8) isebutnya sebagai “heuristik“, apa yang hendak ditemukan, jalan atau proses semata-mata ditentukan oleh siswa itu sendiri. Menurut Jerome Bruner (Cooney, Davis:1975,138), penemuan adalah suatu proses, suatu jalan/cara dalam mendekati permasalahan bukannya suatu produk atau item pengetahuan tertentu. Proses penemuan dapat menjadi kemampuan umum melalui latihan pemecahan masalah dan praktek membentuk dan menguji hipotesis. Di dalam pandangan Bruner, belajar dengan penemuan adalah belajar untuk menemukan, dimana seorang siswa dihadapkan dengan suatu masalah atau situasi yang tampaknya ganjil sehingga siswa dapat mencari jalan pemecahan.
Sebagai ilustrasi bagaimana Bruner menerangkan dengan contoh suatu pelajaran penemuan dapat ditemukan di dalam bukunya Toward a Theory of Instruction (1966: 59-68). Ilustrasi tersebut menunjukkan bagaimana seorang siswa dihadapkan dengan suatu persegi dengan ukuran x dan persegi-persegi satuan. Siswa harus membangun persegi dengan sebanyak potongan persegi-persegi satuan yang diperlukan. Para siswa diharapkan dapat menduga suatu kesimpulan mengenai binomial serta melihat hubungannya dengan melihat potongan persegi dengan ukuran x dan persegi satuan. Dalam kegiatan pembelajarannya siswa diarahkan untuk menemukan sesuatu, merumuskan suatu hipotesa, atau menarik suatu kesimpulan sendiri. Kadang-kadang model penemuan ini memerlukan waktu lebih lama untuk seluruh kelas atau kelompok kecil siswa dalam menemukan suatu obyek matematika dari pada menyajikan obyek tersebut kepada mereka.
Metode Penemuan Murni ini kurang tepat karena pada umumnya sebagian besar siswa masih membutuhkan konsep dasar untuk dapat menemukan sesuatu. Hal ini terkait erat dengan karakteristik pelajaran matematika yang lebih merupakan deductive reasoning dalam perumusannya. Di samping itu, penemuan tanpa bimbingan dapat memakan waktu berhari-hari dalam pelaksanaannya atau bahkan siswa tidak berbuat apa-apa karena tidak tahu, begitu pula jalannya penemuan. Jelas bahwa model penemuan ini kurang tepat untuk siswa sekolah dasar maupun lanjutan apabila tidak dengan bimbingan guru, karena materi matematika yang ada dalam kurikulum tidak banyak yang dapat dipelajari karena kekurangan waktu bahkan siswa cenderung tergesa-gesa menarik kesimpulan dan tidak semua siswa dapat menemukan sendiri. Mengingat hal tersebut timbul metoda pembelajaran dengan penemuan yang dipandu oleh guru. Metode penemuan yang dipandu oleh guru ini pertama dikenalkan oleh Plato dalam suatu dialog antara Socrates dan seorang anak, maka sering disebut juga dengan metoda Socratic (Cooney,Davis:1975, 136).
Metode ini melibatkan suatu dialog/interaksi antara siswa dan guru di mana siswa mencari kesimpulan yang diinginkan melalui suatu urutan pertanyaan yang diatur oleh guru. Salah satu buku yang pertama menggunakan teknik penemuan terbimbing adalah tentang aritmetika oleh Warren Colburn yang pelajaran pertamanya berjudul: Intellectual Arithmetic upon the Inductive Method of Instruction, diterbitkan pada tahun 1821, yang isinya menekankan penggunaan suatu urutan pertanyaan dalam mengembangkan konsep dan prinsip matematika.
Pembelajaran dengan model ini dapat diselenggarakan secara individu atau kelompok. Model ini sangat bermanfaat untuk mata pelajaran matematika sesuai dengan karakteristik matematika tersebut. Guru membimbing siswa jika diperlukan dan siswa didorong untuk berpikir sendiri sehingga dapat menemukan prinsip umum berdasarkan bahan yang disediakan oleh guru dan sampai seberapa jauh siswa dibimbing tergantung pada kemampuannya dan materi yang sedang dipelajari.
Dengan model penemuan terbimbing ini siswa dihadapkan kepada situasi dimana siswa bebas menyelidiki dan menarik kesimpulan. Terkaan, intuisi dan mencoba-coba (trial and error) hendaknya dianjurkan dan guru sebagai penunjuk jalan dan membantu siswa agar mempergunakan ide, konsep dan ketrampilan yang sudah mereka pelajari untuk menemukan pengetahuan yang baru. Dalam model pembelajaran dengan penemuan terbimbing, peran siswa cukup besar karena pembelajaran tidak lagi terpusat pada guru tetapi pada siswa. Guru memulai kegiatan belajar mengajar dengan menjelaskan kegiatan yang akan dilakukan siswa dan mengorganisir kelas untuk kegiatan seperti pemecahan masalah, investigasi atau aktivitas lainnya. Pemecahan masalah merupakan suatu tahap yang penting dan menentukan. Ini dapat dilakukan secara individu maupun kelompok. Dengan membiasakan siswa dalam kegiatan pemecahan masalah dapat diharapkan akan meningkatkan kemampuan siswa dalam mengerjakan soal matematika, karena siswa dilibatkan dalam berpikir matematika pada saat manipulasi, eksperimen, dan menyelesaikan masalah.
Langkah–langkah dalam Penemuan Terbimbing
Agar pelaksanaan model penemuan terbimbing ini berjalan dengan efektif, beberapa langkah yang perlu ditempuh oleh guru matematika adalah sebagai berikut :
a.       Merumuskan masalah yang akan diberikan kepada siswa dengan data secukupnya, perumusannya harus jelas, hindari pernyataan yang menimbulkan salah tafsir sehingga arah yang ditempuh siswa tidak salah.
b.      Dari data yang diberikan guru, siswa menyusun, memproses, mengorganisir, dan menganalisis data tersebut. Dalam hal ini, bimbingan guru dapat diberikan sejauh yang diperlukan saja. Bimbingan ini sebaiknya mengarahkan siswa untuk melangkah ke arah yang hendak dituju, melalui pertanyaan-pertanyaan, atau LKS.
c.       Siswa menyusun konjektur (prakiraan) dari hasil analisis yang dilakukannya.
d.      Bila dipandang perlu, konjektur yang telah dibuat siswa tersebut diatas diperiksa oleh guru. Hal ini penting dilakukan untuk meyakinkan kebenaran prakiraan siswa, sehingga akan menuju arah yang hendak dicapai.
e.       Apabila telah diperoleh kepastian tentang kebenaran konjektur tersebut, maka verbalisasi konjektur sebaiknya diserahkan juga kepada siswa untuk menyusunya. Di samping itu perlu diingat pula bahwa induksi tidak menjamin 100% kebenaran konjektur.
f.       Sesudah siswa menemukan apa yang dicari, hendaknya guru menyediakan soal latihan atau soal tambahan untuk memeriksa apakah hasil penemuan itu benar.
Memperhatikan Model Penemuan Terbimbing tersebut diatas dapat disampaikan kelebihan dan kekurangan yang dimilikinya. Kelebihan dari Model Penemuan Terbimbing adalah sebagai berikut:
a.       Siswa dapat berpartisipasi aktif dalam pembelajaran yang disajikan.
b.      Menumbuhkan sekaligus menanamkan sikap inquiry (mencari-temukan)
c.       Mendukung kemampuan problem solving siswa.
d.      Memberikan wahana interaksi antar siswa, maupun siswa dengan guru, dengan demikian siswa juga terlatih untuk menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
e.       Materi yang dipelajari dapat mencapai tingkat kemampuan yang tinggi dan lebih lama membekas karena siswa dilibatkan dalam proses menemukanya (Marzano, 1992)
Sementara itu kekurangannya adalah sebagai berikut :
a.       Untuk materi tertentu, waktu yang tersita lebih lama.
b.      Tidak semua siswa dapat mengikuti pelajaran dengan cara ini. Di lapangan, beberapa siswa masih terbiasa dan mudah mengerti dengan model ceramah.
c.       Tidak semua topik cocok disampaikan dengan model ini. Umumnya topik-topik yang berhubungan dengan prinsip dapat dikembangkan dengan Model Penemuan Terbimbing.
5.      Pengetahuan Awal
Pengetahuan awal siswa sebelum mempelajari suatu bahan pelajaran banyak membawa pengaruh terhadap hasil belajar yang dicapai. Dengan mengetahui pengetahuan awal siswa, guru  dapat menentukan dari mana harus memulai pelajaran. Pengetahuan awal yang dimaksudkan adalah kemampuan atau keterampilan yang dimiliki, yang lebih rendah dari apa yang akan dipelajari. Tingkat pengetahuan ini dinamakan dengan entry behavior. Ali (1996) entry behavior pada dasarnya merupakan keadaan pengetahuan dan keterampilan yang harus dimiliki oleh siswa sebelum mempelajari pengetahuan atau keterampilan baru.
Ada tiga entry behavior yang harus diketahui oleh guru sebagaimana yang dinyatakan Djamarah (2004) ; (a) batas-batas ruang lingkup materi pengetahuan yang telah dimiliki dan dikuasai oleh siswa, (b) tingkatan tahapan materi pengetahuan, terutama kawasan pola-pola sambutan atau pengetahuan yang telah dimiliki oleh siswa, (c) kesiapan dan kematangan fungsi-fungsi psikofisik.
Piaget dalam Suparno (1999) menyatakan bahwa dalam pikiran seseorang ada struktur pengetahuan awal yang disebut schemata. Setiap schema berperan sebagai suatu filter dan fasilitator bagi ide-ide dan pengalaman baru. Skema mengatur, mengkoordinasi dan mengintensifkan prinsip-prinsip dasar menggunakan kontak dengan pengalaman baru. Skema dapat dikembangkan dan diubah dengan proses asimilasi dan akomodasi. Bila pengalaman baru itu masih bersesuaian dengan skema yang dimiliki seseorang , maka skema tersebut dikembangkan melalui proses asimilasi. Bila pengalaman berbeda dengan pengalaman yang ada, sehingga skema yang lama tidak cocok lagi untuk menghadapi pengalaman baru, skema yanglama tersebut diubah sampai ada keseimbangan lagi.
Solomon (1981) menyebutkan bahwa schemata adalah struktur mental atau struktur kognitif dimana seseorang secara intelektual beradaptasi dan berkoordinasi dengan lingkungan sekitarnya. Schemata berperan sebagai pemandu terhadap tingkah laku dan sebagai sebuah kerangka yang mempengaruhi tingkah laku dimana informasi baru yang relevan diasimilasi.
Abizar (2004) suatu skema mental lebih spesifiknya adalah seperangkat pengetahuan yang telah diperoleh sebelumnya ditambah operasinya yang memerlukan kecakapan tertentu untuk memprosesnya. Suatu skema adalah laksana gudang simpanan dari suatu kategori pengetahuan dan juga laksana satu koleksi. Berdasarkan beberapa penjelasan tentang pengetahuan awal, peneliti dalam penelitian ini yang dimaksud dengan pengetahuan awal adalah kemampuan yang telah dimiliki oleh siswa sebelum dilakukan proses pembelajaran matematika yang diukur melalui tes objektif yang berisikan materi prasyarat dari materi yang akan dipelajari.
B.     Penelitian yang Relevan
Hariyani (2011) dalam penelitiannya berjudul “Pembelajaran Matematika Dengan Metode Penemuan Terbimbing Untuk Meningkatkan Pemahaman Konsep Dan Kemampuan Penalaran Matematik Siswa Sekolah Dasar”, penelitian ini merupakan penelitian kuasi eksperimen pada Siswa Kelas V SDN dalam Gugus 1 di Kecamatan Rokan IV Koto Kabupaten Rokan Hulu. Menyimpulkan bahwa metode penemuan terbimbing berpengaruh dalam meningkatkan hasil belajar matematika siswa yang berupa pemahaman konsep dan kemampuan penalaran.
Cony Setyadi (2011) dalam penelitiannya “eksperimentasi pembelajaran matematika dengan metode penemuan terbimbing tutor sebaya pokok bahasan sistem persamaan linier dua variabel ditinjau dari kemampuan awal siswa kelas VIII SMP Negeri se Subrayon 01 Kabupaten Sukoharjo”, penelitian ini merupakan penelitian eksperimen yang menyimpulkan bahwa metode penemuan terbimbing memberikan pengaruh dalam meningkatkan hasil belajar matematika siswa begitu juga dengan pengetahuan awal siswa mempengaruhi hasil belajar.


C.    Kerangka Pemikiran
1.      Pengaruh Penggunaan Metode Penemuan Terbimbing Terhadap Hasil Belajar Matematika
Pengaruh penggunaan metode penemuan terbimbing terhadap hasil belajar matematika siswa menjadi dasar pemikiran dalam mengembangkan penelitian ini. Selama ini pembelajaran yang dilakukan bersifat konvensional. Pembelajaran konvensional merupakan pembelajaran yang lebih berpusat pada guru sehingga guru menjadi satu-satunya sumber belajar dan penentu jalannya prose pembelajaran, dalam hal ini pembelajaran konvensional tidak bisa menjadi akses informasi belajar yang luas sehingga siswa tidak bisa berkembang secara mandiri untuk mengaktualisasikan pengetahuan atau pengalamn yang telah dimilikinya. Kemampuan mengeluarkan pendapatpun menjadi sangat minim karena siswa terbisaa dengan aturan-aturan pembelajaran yang sifatnya hanya mendengar dan mencatat apa yang diperlukan. Hal ini membuat pembelajaran kurang bermakna sehingga siswa mudah lupa terhadap konsep yang dipelajarinya.
Metode penemuan terbimbing menuntut siswa untuk mengkonstruksi pengetahuannya sendiri sedikit demi sedkit yang melibatkan siswa aktif menemukan sendiri konsep yang dipelajarinya. Hal ini akan memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar lebih bermakna sehingga pembelajaran tidak hanya bersifat mendengar, mencatat dan menghafal. Melihat kelebihan dari metode penemuan terbimbing dibandingkan pembelajaran konvensional dapat dijadikan kerangka konseptual bahwa penerapan metode penemuan tebimbing memberikan pengaruh yang bagus terhadap hasil belajar matematika siswa.
2.      Pengaruh Pengetahuan Awal Terhadap Hasil Belajar
Pengetahuan awal siswa sangat mempengaruhi hasil belajar. Siswa yang mempunyai pengetahuan awal tinggi dapat dengan mudah menguasai materi yang sedang dipelajari karena siswa dengan mudah membuat koneksi antara pengetahuan yang telah dimilikinya dengan materi yang akan dipelajari sehingga dapat menemukan makna, melakukan kegiatan belajar, dan menimbulkan motivasi dalam dirinya untuk aktif bekerja sama dengan teman-temannya serta mampu menimbulkan rasa percaya diri dalam meyelesaikan tugas yang diberikan.
Siswa yang memiliki pengetahuan awal rendah akan sedikit mengalami kesulitan dalam menghubungkan pengetahuan yang telah dimilikinya dengan pengalaman yang baru dipelajarinya. Oleh karena itu sangat perlu bagi guru untuk mengetahui tingkat pengetahuan awal siswa sehingga bisa menentukan dari mana pelajaran itu akan dimulai agar bisa membantu siswa yang pengetahuan awalnya rendah.  Berdasarkan uraian tersebut diduga bahwa pengetahuan awal memberikan pengaruh terhadap hasil belajar matematika siswa.
3.      Interaksi antara Penggunaan Metode Penemuan Terbimbing dan Pengetahuan Awal
Metode penemuan terbimbing merupakan suatu metode yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan sendiri konsep yang dipelajarinya sehingga pembelajaran lebih bermakna. Siswa tidak hanya menghafal rumus, tetapi mampu menemukan sendiri penerapannya dalam kegiatan penemuan terbimbing. Bagi siswa yang memiliki pengetahuan awal tinggi akan semakin mudah dalam memahami konsep, karena memiliki kemampuan untuk menghubungkan pengetahuan lama dengan pengalaman yang baru. Siswa semakin termotivasi dengan kegiatan yang diberikan.
Bagi siswa yang mempunyai pengetahuan awal rendah juga akan meningkatkan hasil belajar, karena metode penemuan terbimbing melibatkan siswa langsung dalam pembelajaran. Siswa mendapatkan pengalaman langsung dalam belajar, sehingga walaupun pengetahuan awalnya rendah tetapi dapat dikoneksikan dengan materi yang akan dipelajari sesuai dengan lingkungan belajar sehingga secara bertahap pengetahuan itu akan dibangun dalam ingatan jangka panjangnya. Dari uaraian tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa metode penemuan terbimbing memiliki interaksi dengan pengetahuan awal siswa.
Lebih jelasnya kerangka berfikir yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada diagram 1 di bawah ini :
Gambar 1 : Kerangka berpikir
Kelas Eksperimen
Tes Pengetahuan Awal
Kelas Kontrol
Pengetahuan Awal Tinggi
Pengetahuan Awal Rendah
Pengetahuan Awal Tinggi
Pengetahuan Awal Rendah
Pembelajaran Menggunakan Metode Penemuan Terbimbing
Pembelajaran Konvensional
Hasil Belajar
 











D.    Hipotesis
Berdasarkan kajian teori dan kerangka pemikiran di atas, maka dapat dirumuskan hipotesis penelitian ini sebagai berikut :
1.      Hasil belajar Matematika siswa menggunakan metode penemuan terbimbing lebih tinggi daripada hasil belajar siswa melalui pembelajaran konvensional.
2.       Hasil belajar Matematika siswa yang memiliki pengetahuan awal tinggi yang belajar menggunakan metode penemuan terbimbing lebih tinggi daripada hasil belajar siswa berpengetahuan awal tinggi melalui pembelajaran konvensional.
3.      Hasil belajar Matematika siswa yang memiliki pengetahuan awal rendah yang belajar menggunakan metode penemuan terbimbing lebih tinggi daripada hasil belajar siswa berpengetahuan awal rendah melalui pembelajaran konvensional.
4.      Terdapat interaksi antara penggunaan metode penemuan terbimbing dan pengetahuan awal terhadap hasil belajar Matematika


BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

A.    Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimen, yang menggunakan metode eksperimen semu (quasi experiment) yang berbentuk factorial desain. Penelitian quasi eksperimental, yaitu penelitian yang bertujuan untuk memperoleh informasi berdasarkan perlakuan (treatment). Penelitian ini mencoba untuk meneliti seberapa besar pengaruh pembelajaran dengan metode penemuan terbimbing dan pengetahuan awal terhadap hasil belajar, dengan cara membandingkan kelompok kontrol yang diajar dengan cara konvensional dan kelompok eksperimen dengan pembelajaran metode penemuan terbimbing.
Dalam penelitian ini menggunakan dua kelas yaitu kelas eksperimen dan kelas kontrol. Kelas eksperimen diberi perlakuan dengan menggunakan metode penemuan terbimbing dan kelas control menggunakan pembelajaran konvensional.
B.     Populasi dan Sampel Penelitian
1.      Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah kelas VIII SMP Negeri 02 Kecamatan Reteh Kabupaten Indragiri Hilir Tahun Pelajaran 2011 / 2012. Populasi terdiri dari tiga kelas yaitu kelas A, B dan C dengan total siswa 75 orang. Untuk lebih jelasnya populasi kelas VIII SMP Negeri 2 Reteh dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
Tabel 2. Populasi Penelitian

Item
Populasi (jumlah siswa)
Kelas
VIIIA
VIIIB
VIIIC
Total
Laki-laki
12
11
13
36
Perempuan
13
14
12
39
Jumlah
25
25
25
75
                Sumber : Data SMP Negeri 2 Reteh
2.      Sampel
Sampel penelitian ini terdiri dari dua kelompok yaitu kelompok eksperimen dan kelompok control sebanyak 2 (dua) kelas. Untuk 1 (satu) kelas dijadikan sebagai kelas eksperimen dan 1 (satu) kelas lagi dijadikan kelas control. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik random sampling, yaitu semua kelas dalam populasi mempunyai kesempatan yang sama untuk menjadi sampel. Tahapan yang dilakukan untuk menentukan kelas eksperimen dan control adalah sebagai berikut :
a)      Menulis nama kelas dengan lembar kertas kecil
b)      Memasukkan gulungan kertas kecil tersebut ke dalam kotak untuk di undi.
c)      Mencabut dua gulungan kertas undian yang ditentukan satu kelas sebagai kelas eksperimen dan satu kelas sebagai kelas control.
Untuk meyakinkan adanya karakteristik yang sama pada masing-masing kelas sampel, peneliti juga melakukan uji prapersyaratan analisis untuk kelas sampel yaitu dengan menggunakan uji homogenitas terhadap keduanya.
C.    Defenisi Operasional
Agar tidak terjadi perbedaan persepsi terhadap istilah-istilah kunci yang digunakan dalam penelitian ini maka dikemukakan defenisi operasional dari istilah-istilah tersebut sebagai berikut :
1.      Hasil belajar matematika yang dimaksud dalam penelitian ini adalah skor yang didapat siswa setelah proses pembelajaran Matematika berlangsung. Baik yang diajar dengan metode penemuan terbimbing maupun yang diajar dengan metode konvensional.
2.      Metode penemuan terbimbing merupakan suatu metode pembelajaran yang berpusat pada siswa, dimana siswa didorong untuk berfkir sendiri dalam mencari dan menemukan suatu pengetahuan, dimana guru hanya bertindak sebagai pembimbing, pemberi petunjuk.
3.       Pembelajaran konvensional yang dimaksud adalah suatu pendekatan pembelajaran yang tidak menekankan kepada keterampilan proses keterlibatan siswa secara penuh, dimana siswa ditempatkan sebagai objek belajar yang berperan sebagai penerima informasi secara pasif, serta dalam pelaksanaan pembelajaran guru sebagai satu-satunya sumber informasi.
4.      Pengetahuan awal siswa yang dimaksud adalah kemampuan yang dimiliki siswa kelas VIII SMP Negeri 02 Reteh setelah diberikan tes yang berisikan materi prasyarat dari materi yang akan dipelajari.
D.    Pengembangan Instrumen
1.      Desain Penelitian
Desain penelitian yang digunakan adalah Randomized Block Design dengan Metode Penemuan Terbimbing sebagai treatment dan pengetahuan awal sebagai blok. Desain ini diterapkan pada situasi yang berbeda yakni dengan pembelajaran menggunakan Metode Penemuan Terbimbing pada kelas eksperimen dan metode konvensional pada kelas control. Hasil belajar dilihat berdasarkan tngkat pengetahuan awal tinggi dan rendah. Adapun desain perlakuan secara jelas dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 3 : Desain Eksperimen
Metode

Pengetahuan Awal
Metode Penemuan terbimbing
(A1)
Konvensional
(A2)
Pengetahuan awal tinggi
 (B1)
A1B1
A2B1
Pengetahuan awal rendah (B2)
A1B2
A2B2
Keterangan:
A1B1 : Kelompok siswa pengetahuan awal tinggi dengan metode penemuan terbimbing
A2B1 : Kelompok siswa pengetahuan awal tinggi dengan metode konvensional
A1B2 : Kelompok siswa pengetahuan awal rendah dengan metode penemuan terbimbing
A2B2 : Kelompok siswa pengetahuan awal rendah dengan metode konvensional

Dalam penelitian ini pembagian kelompok siswa berpengetahuan awal tinggi dan rendah dilakukan dengan cara membagi 50 % siswa ke dalam dua kelompok tinggi dan rendah. Untuk kelompok berpengetahuan awal tinggi diambil dari nilai tertinggi yang sama dari kedua kelas, begitu juga untuk kelompok berpengetahuan awal rendah.
Penelitian ini akan dilaksanakan sebanyak 6 kali pertemuan yaitu kelas eksperimen diberikukan pembelajaran dengan metode penemuan terbimbing sedangkan kelas control diberi pembelajaran konvensional. Untuk lebih jelasnya perlakuan masing-masing model pembelajaran dapat dilihat pada tabel berikut tentang prosedur penelitian.
Tabel 4 : Desain Pembelajaran
No
Kelas Kontrol
Kelas Eksperimen
1
Pelaksanaan tes pengetahuan awal siswa
Pelaksanaan tes pengetahuan awal siswa
2
Pelaksanaan pembelajaran dengan pembelajaran konvensional (6 kali pertemuan)
Pelaksanaan pembelajaran dengan metode penemuan terbimbing (6 kali pertemuan)
3
Tes hasil Belajar
Tes hasil Belajar
4
Pemeriksaan hasil tes belajar
Pemeriksaan hasil tes belajar
5
Reorganisasi data, analisis data dan penarikan kesimpulan hasil penelitian
Reorganisasi data, analisis data dan penarikan kesimpulan hasil penelitian

2.      Uji Coba Instrumen
Instrument yang telah dibuat, diujicobakan terlebih dahulu. Hal ini dilakukan untuk mengetahui tingkat validitas dan reliabilitas tes. Validitas tes adalah sejauh mana tes yang diberikan mampu mengukur apa yang seharusnya diukur. Sedangkan reliabilitas adalah alat ukur yang mampu memberikan hasil pengukuran yang konsisten dalam waktu dan tempat yang berbeda.
Adapun rumus-rumus yang digunakan bagi keperluan pengujian kesahihan tes di atas adalah :
a)      Validitas butir soal
Validitas butir soal digunakan untuk mengetahui dukungan suatu butir soal terhadap skor total. Untuk menguji validitas setiap butir soal, skor-skor yang ada pada butir soal dikorelasikan dengan skor total dengan menggunakan rumus korelasi. Sebuah soal akan memiliki validitas yang tinggi jika skor tersebut memiliki dukungan yang besar terhadap skor total.
Perhitungan dilakukan dengan menggunakan rumus korelasi product moment pearson, dengan rumus :
  (Sugiyono, 2011)
Keterangan :
       : koefisien korelasi antara variabel X dan variabel Y, dua variabel yang dikorelasikan
        : Skor item
        : Skor Total
       : Jumlah siswa

Untuk mengetahui signifikan korelasi diajukan uji-t dengan rumus berikut :

Keterangan :
t          : Daya pembeda dari uji t
N        :  Jumlah siswa
      : Koefisien korelasi

b)      Reliabilitas
Reliabilitas disebut juga keterhandalan atau kemantapan suatu instrument yakni sejauh mana instrument mampu menghasilkan skor-skor hasil penilaian yang stabil dan konsisten (Sugiyono, 2011). Reliabilitas tes berhubungan dengan masalah ketetapan. Untuk mencari reliabilitas tes menggunakan rumus Kuder Richardson (KR 20) yakni ;
Keterangan :
    = reliabilitas tes secara kesuluruhan
      = proporsi peserta menjawab dengan benar
      = (1 – p ) proporsi peserta menjawab dengan salah
 = jumlah perkalian p da q
     = variansi
      = jumlah jumlah item soal
c)      Tingkat Kesukaran
Analisis tingkat kesukaran bertujuan untuk melihat suatu soal mudah atau sukar. Besarnya indeks kesukaran berkisar antara 0,00 sampai 1,0. Soal dengan indeks 1,0 menunjukkan bahwa soal tersebut terlalu mudah. Indeks kesukaran diberi symbol I (indeks kesukaran) menurut Sudjana (2009) dihitung dengan rumus :
Keterangan :
I         : Indeks kesulitan untuk setiap butir soal
B        : Banyaknya siswa menjawab benar setiap butir soal
N    : banyaknya siswa yang memberikan jawaban  pada soal yang dimaksudkan
Klasifikasi untuk indeks kesulitan adalah sebagai berikut :
Tabel 5 : Kategori Tingkat Kesulitan
Batasan
Kategori
0,00 – 0,30
0,31 – 0,70
0,71 – 1,00
Soal Sukar
Soal Sedang
Soal Mudah

d)     Daya Pembeda
Daya pembeda soal adalah kemampuan suatu soal untuk membedakan antara siswa yang berkemampuan tinggi dengan siswa yang berkemampuan rendah. Rumus yang akan digunakan untuk menentukan indeks diskriminasi (D) atau daya pembeda adalah :
Keterangan :
  : Banyaknya peserta kelompok atas
  : Banyaknya peserta kelompok bawah
 : Banyaknya peserta kelompok atas yang menjawab benar
 ; Banyaknya peserta kelompok bawah yang menjawab benar
 : Proporsi Kelompok atas yang menjawab benar
 : Proporsi Kelompok bawah yang menjawab benar

Kategori daya pembeda adalah sebagai berikut :
Tabel 6: Kategori Daya Pembeda
Batasan
Kategori
Jelek
Cukup
Baik
Baik Sekali


E.     Teknik Pengumpulan Data
Data dalam penelitian ini akan dikumpulkan dengan menggunakan instrument berupa tes hasil belajar matematika berbentuk objektif atau pilihan ganda. Untuk mendapatkan data hasil tes, terlebih dahulu tes diujicobakan untuk mengetahui tingkat validitas dan reliabilitas tes. Setelah diuji baru diberikan tes pengetahuan awal kepada kelompok eksperimen dan kelompok control. Untuk mendapatkan data akhir penelitian dilakukan postes setelah perlakuan diberikan kepada kelompok control. Banyaknya butir soal untuk uji coba tes dan tes berjumlah 40 butir soal pilihan ganda. Penskoran tes pilihan ganda ini menggunakan rumus :
 , dengan : S = Skor yang diperoleh
                                       JB = Jumlah Betul
                                      JS  = Jumlah Salah

F.     Teknik Analisis Data
Setelah data penelitian didapat, data ini perlu diolah atau dianalisis. Model analisis statistic akan digunakan dalam pengolahan data penelitian. Untuk melihat perbedaan antara tes awal dan tes akhir pada kelas eksperimen dan kelas control maka dilakukan uji persyaratan dengan uji normalitas dan uji homogenitas data dengan uji F.
1)      Uji Normalitas
Uji normalitas dilakukan untuk menentukan data yang kita dapat berdistribusi normal atau tidak. Normalitas data diperlukan untuk menentukan pengujian beda rerata yang akan diselidiki. Uji normalitas yang digunakan adalah uji kecocokan  (Chi-Kuadrat)
Keterangan :
        : nilai chi kuadrat
         : frekuensi yang diobservasi (frekuensi empiris)
         : frekuensi yang diharapkan (frekuensi  teoritis)
 kemudian dibandingkan dengan  atau

2)      Uji Homogenitas
Uji homogenitas ditujukan untuk mengetahui kedua distribusi pada kelompok eksperimen dan kelompok control memiliki variansi-variansi yang sama atau tidak. Uji homogenitas menggunakan uji variansi dua buah peubah bebas karena sampel yang diselidiki saling bebas
  dengan  adalah varian
3)      Uji Hipotesis
Uji Hipotesis melihat perbedaan hasil belajar akan menggunakan uji-t,
Keterangan :
        : Daya pembeda dari uji t
       : Nilai korelasi x1 dan x2
     : rata-rata sampel ke-1
     : rata-rata sampel ke-2
     : Varians sampel ke-1
     : Varians sampel ke-2
      : Standar deviasi sampel ke-1
      : Standar Deviasi sampel ke-2
     : jumlah sampel ke-1
     : jumlah sampel ke-2

4)      Uji untuk mengetahui interaksi antara pengetahuan awal siswa dengan metode penemuan terbimbing digunakan dengan rumus analisis variansi (Anava) dua arah (Sugiyono, 2011) dengan bantuan SPSS versi 14.


DAFTAR RUJUKAN

Bloom, Benjamin S. 2001. Taxonomi of Learning, Teaching and Assessing. A Revision of Bloom’s Taxonomy of Educational Objectives. New York : Longman edisi revisi
Dimyati dan Mudjiono. 2006. Belajar dan Pembelajaran
Hargenhahn & Matthew H. Olson. 2008. Theories of Learning. Prenada Jakarta: Media Group.
Romiszwiski, AJ. 1981. Designing Instructional System. New York : Nichols Publishing.
Markaban, dkk. 2006. Model Matematika dengan Pendekatan Metode Penemuan Terbimbing. Jakarta : DEPDIKNAS
Oemar hamalik. 1993. Strategi Belajar Mengajar. Bandung : Mandar Maju
Yusufhadi Miarso. 2005. Menyemai Benih Teknologi Pendidikan. Jakarta: Pustekkom- Diknas
Richard, Jack C dan Willy A. Renandya. Methodology in Languange Teaching.  USA : Cambrige University Press
Sugiyono. 2011. Statistik Untuk Penelitian. Bandung : Alfabeta
Arikunto. 2001. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Depdiknas.2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
Tim PPPG Matematika; 2006; Model-model Pembelajaran Matematika (Bahan Diklat Guru Pengembang SMP ); Yogyakarta; PPPG Matematika

Voigt, Jorg ; 1996; Theories of Mathematical Learning; New Jersey; Lawrence Erlbaum Associates Publishers

Bruner, Jerome: 1977, The Process of Education, London: Harvard University Press

Bruce Joyce dan Marsha Weil; 1992; Models of Teaching; Massachussetts; Allyn and Bacon